Selasa, 25 Oktober 2011

CINTANYA SEORANG WANITA

Kepadamu yang akan menjadi pendampingku kelak...

Terima kasih karena telah memilihku di antara ribuan bidadari di luar sana yang siap untuk kau pilih....

Padahal kau begitu tahu begitu tahu, aku hanya wanita biasa, yang sangat jauh dari sempurna.

Karenanya ku ingin kau tau,aku bukan wanita yang sempurna, aku begitu banyak kekurangan.
Maka ketahuilah...

Kepadamu yang akan memilihku kelak...
Aku tak sebijak bunda Khadijah, karenanya ku ingin kau tau,aku bisa saja berbuat salah dan begitu membuatmu marah.

Maka ku mohon padamu, bijaklah dalam menghadapiku, jangan marah padaku,
nasihati aku dengan hikmah, karena bagiku kaulah pemimpinku, tak akan berani ku durhaka kepadamu...

Duhai kau yang yang telah memilihku kelak....
Ingatlah,tak selamanya aku dapat tampak cantik di matamu,ada kalanya aku akan terlihat begitu kusam dan jelek.

Mungkin karena aku begitu sibuk berjibaku di dapur,
untuk menyiapkan makan untukmu dan malaikat-malaikat kita nanti..Insya Allah

Maka,aku akan tampak kotor dan bau asap.

Atau karena seharian ku harus membenahi istana kecil kita,
agar kau dan malaikat kita dapat tinggal dengan nyaman dan sehat.

Maka mungkin aku tidak sempat berdandan untuk menyambutmu sepulang bekerja.

Ataukah kau akan menemukanku terkantuk-kantuk saat mendengar keluham dan ceritamu,bukan karena aku tak suka menjadi tempatmu menumpahkan segala rasamu,tapi semalam saat kau tertidur dengan nyenyak,aku tak sedetikpun tertidur kerana harus menjaga malaikat kecil kita yang sedang rewel,dan ku tau kau letih mengais rezeki untuk kami maka tak ingin ku mengusik sedikit pun lelapmu..

Jadi jika esok pagi kau mendapatiku begitu letih dan ada lingkaran hitam di mataku,maka tetaplah tersenyum padaku,karena kau adalah kekuatan ku...

Padamu yang menjadi nahkoda dalam hidupku kelak...
Ketahuilah, aku tak sesabar Fatimah, ada kalanya kau akan menemukanku begitu marah,menangis dan tak terkontrol, bukan karena ku membangkang padamu, tapi aku hanya wanita biasa,aku juga butuh tempat untuk menumpahkan beban di hatiku, tempat untuk melepaskan penatku,
dan mungkin saat itu aku tak menemukanmu, atau kau begitu sibuk dengan pekerjaanmu,maka bersabarlah, yang ku butuhkan hanya belaianmu...

Karena bagiku kau adalah tetesan embun yang mampu memadam segala resahku...
Padamu yang menjadi imam dalam hidupku kelak...

Ketahuilah, aku tak secerdas Aisyah..
Maka jangan pernah bosan mengajariku,membimbingku ke Arah-NYA..

Jangan segan membangunanku di sepertiga malam untuk bersamamu bermunajat pada Kekasih yang Maha Kasih..

Jangan letih mengingatkanku untk terus bersamamu mendulang pahala dalam amalan-amalan sunnah..

Bimbing tanganku ke Jannah-NYA agar kau dan aku tetap bersatu di dalamnya...
Padamu yang menjadi kekasih hati dan teman dalam hidupku...

Seiring berjalanya waktu,kau akan menemukan rambutku yang dulu hitam legam dan indah,akan menipis dam memutih. Kulitku yang bersih akan mulai keriput. Tanganku yang halus akan menjadi kasar...

Dan kau tak akan menemukanku sebagai wanita cantik, yang kau khitbah puluhan tahun yang lalu...
Bukan wanita muda yang selalu menyenangkan matamu...
Maka jangan pernah berpaling dariku...

bahkan sejak dulu akan terus bertambah dan kian membuncah,
yaitu rasa cintaku padamu...

Ketahuilah... Tiap harinya, tiap jam,menit dan detiknya,telah aku lewati dengan selalu jatuh cinta padamu.
Maka cintailah aku karena-NYA, dengan apa adanya aku...
Jangan berharap aku menjadi wanita sempurna...
Maafkan aku karena aku bukan istri Nabi...
Aku hanya wanita biasa.....

Hukum Minta Didoakan Orang Lain



 “Ya Akhi…tolong doakan saya ya…doain saya moga sukses…” kata seorang ikhwan yang ingin mengikuti ujian kepada temannya. Ada pula seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Wahai saudaraku … doain ya … moga kampung kita senantiasa diberkahi oleh Allah”.

 Penggalan cerita di atas adalah fenomena yang sekarang ini banyak kita dapatkan di sekeliling kita. Seringkali seseorang meminta dari temannya untuk mendoakan kemaslahatan bagi dirinya atau bagi semua orang secara umum. Hal ini sebenarnya sebuah kewajaran, karena seseorang itu memiliki banyak kebutuhan, baik kebutuhan jasmani yang harus dia penuhi untuk melangsungkan hidupnya atau menyempurnakan hidupnya di dunia ini, atau kebutuhan yang bersifat rohani seperti ibadah yang di antaranya adalah berdoa kepada Allah.

 Namun, terkadang seseorang berlebihan dalam meminta doa dari orang lain, sehingga dia merendahkan dirinya sendiri, menganggap dirinya banyak berlumuran dosa sehingga tidak berani berdoa secara langsung kepada Allah, sehingga mendorong mereka untuk meminta temanya atau gurunya agar mendoakan kemaslahatan bagi dirinya yang menyebabkan dirinya bergantung kepada selain Allah, hingga hampir-hampir dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri atau malah menjadikan orang yang dimintai doa sombong dan takabur karena telah dipercaya oleh orang banyak untuk memberikan doa.

 Oleh karenanya, sudah seyogianya kita melihat fenomena ini dari kacamata hukum islam. Bagaimana islam memandang meminta doa dari orang lain. Apakah meminta doa dari orang lain itu disyariatkan? Apakah islam membolehkannya atau tidak?

 Syekh Shalih Ali Syekh menyatakan, “Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini (meminta doa dari orang lain) bahwa amalan ini tidak disyariatkan, artinya tidak diwajibkan, tidak pula disunnahkan”. (As’ilah wal Fawaid, Maktabah Syamilah)

 Lalu, apakah boleh meminta doa dari orang lain?

 Beliau –Syekh Shalih Ali Syekh- menyatakan, “Hukum asal meminta doa dari orang lain adalah makruh, sebagaimana riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang membenci perbuatan ini, bahkan melarang orang yang meminta doa dari mereka.

 Mungkin timbul pertanyaan, “Mengapa dimakruhkan? Bukankah banyak sekali riwayat yang menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, bahkan Nabi sendiri pun meminta doa dari orang lain?”

 Memang benar ada beberapa hadits shahih, yang dhohirnya menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, sebagai contoh adalah hadits-hadits di bawah ini:

 a. Umar meminta izin kepada Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — untuk menunaikan umrah, maka Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — berkata, “Wahai saudaraku, sertakanlah kami dalam doa-doamu dan jangan lupakan kami.” (Riwayat Ahmad dan Tirmizi). Dalam hadits ini, secara jelas menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, bahkan sekalipun dari orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah kedudukannya, sebagaimana nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — yang kedudukannya lebih tinggi meminta doa dari umar yang lebih rendah kedudukannya.

 b. Dalam hadits Ukasyah bin Muhshan, bahwa Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bersabda, “Ada sekelompok dari umatku sejumlah tujuh puluh ribu yang akan masuk surga dalam keadaan wajah-wajah mereka bersinar terang seperti terangnya sinar bulan purnama”, kemudian Ukasyah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakan saya agar termasuk dari mereka.” Kemudian Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — berdoa, “Ya Allah, jadikanlah Ukasyah dari mereka”. (Riwayat Muttafaqun ‘alaih)

 c. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Shafyan bin Abdullah, beliau berkata, “Saat aku datang ke Syam, maka aku mendatangi Abu Darda’ di rumahnya, namun aku tidak mendapatinya, aku hanya mendapati istrinya, lalu istrinya berkata, “Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini?”, aku menjawab, “Ya, benar”, kemudian istrinya berkata lagi, “Doakanlah kebaikan bagi kami, karena sesungguhnya Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bersabda, “Doanya seorang mukmin tanpa diketahui oleh orang yang didoakan adalah pasti terkabulkan, di samping kepalanya ada seorang malaikat yang diberi tugas untuk mengawasinya, jika dia berdoa kebaikan bagi saudaranya, maka malaikat akan mengaminkannya dan berkata, “Semoga Allah memberikan semisalnya kepadamu”.

 Tiga hadits di atas, jika dilihat dari zhahirnya, memang menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain. Terus, mengapa dikatakan makruh????
 Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan tiga sebab mengapa meminta doa dari orang lain dimakruhkan, yaitu:

 a. Dalam permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, terdapat bentuk meminta-minta kepada manusia. Sedangkan ketika Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dibaiat oleh para sahabatnya, beliau — shollallohu ‘alaihi wa sallam — mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an)” Syai’an (sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakirah. Dalam kalimat tadi, kata nakirah tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan). Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala sesuatu), -termasuk meminta doa kepada orang lain,pen-.”

 b. Orang yang meminta doa dari orang lain, terkadang lahir dalam dirinya sikap memandang rendah dirinya sendiri dan berburuk sangka kepada dirinya hingga dia meminta doa kepada orang lain, padahal Allah berfirman, “Berdoalah kepada Rabb-mu, dengan merendah diri dan suara lembut (al-A’raf: 55).” Kemudian, sebagian orang jika meminta kepada saudaranya yang terlihat shalih untuk mendoakan dirinya, maka orang ini terkadang menyandarkan diri pada doa orang shalih tadi. Bahkan, sampai-sampai dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri (karena keseringan meminta pada orang lain).

 c. Boleh jadi orang yang dimintakan doa tadi menjadi terperdaya dengan dirinya sendiri. Orang shalih ini bisa menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas untuk memintakan doa. (Inilah bahaya yang ditimbulkan dari meminta doa pada orang lain).

 Selain tiga alasan tersebut, jika kita lihat keadaan para sahabat dan tabi’in, maka kita dapatkan mereka membenci bahkan melarang orang yang meminta kepadanya untuk didoakan. Diriwayatkan dari Hudzaifah dan Mu’adz, mereka berkata kepada orang yang meminta doa darinya sebagai wujud pengingkaran, “Apakah kami itu nabi?”

 Demikian pula Imam Anas bin Malik, beliau saat dimintai doa, maka beliau melarangnya untuk meminta doa darinya, beliau khawatir jika orang-orang memandang beliau memiliki kedudukan lebih, beliau khawatir orang-orang yang bergantung kepadanya.

 Kapan meminta doa diperbolehkan?

 Syekh Islam Ibnu Taimiyah — rohimahulloh — telah menjelaskan dengan gamblang dalam buku beliau “Qaidah Jalilah fit-Tawassul wal Wasilah”. Beliau menyatakan, “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, “Doakanlah saya atau kami”, kemudian dia mengharapkan agar saudaranya juga mendapatkan kebaikan dengan berbuat baik padamu atau dia ingin agar saudaranya juga mendapatkan manfaat karena telah mendoakanmu dalam keadaan dirimu tidak mengetahuinya, maka dia telah meneladani Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam meminta doa dari orang lain. Namun, apabila dia hanya menginginkan semata-mata kemanfaatan pada dirinya sendiri saja, maka dia tidak meneladani nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam meminta doa dari orang lain”.

 Dari penjelasan Syekh Ibnu Taimiyah, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa meminta doa dari orang lain itu boleh, ketika seseorang meminta doa orang lain itu berniat agar saudaranya juga mendapatkan manfaat, yaitu manfaat karena diaminkan oleh malaikat dan mendapatkan kebaikan yang semisal atau manfaat yang ditimbulkan oleh umumnya lafadz doa, seperti permintaan seseorang dari orang lain untuk mendoakan kampung mereka diberkahi oleh Allah.

 Adapun tiga hadits yang terdahulu, maka diartikan bahwa mereka meminta doa dari orang lain, bukan semata-mata untuk kebaikan dirinya sendiri, akan tetapi, mereka mengharapkan orang lain yang dia minta doa darinya mendapatkan manfaat juga.

 Adapun mengenai kisah Umar bin Khathab — rodhiyallohu ‘anhu — yang meminta pada Uwais Al Qarni untuk mendoakan dirinya, maka ini adalah perintah Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Dan ini adalah khusus untuk Uwais saja, bukan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak pernah diketahui bahwa sahabat lain meminta pada Umar untuk mendoakan dirinya atau meminta pada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, berdoalah pada Allah untuk kami.” Padahal Abu Bakar lebih utama daripada Umar dan lebih utama daripada Uwais, bahkan lebih utama dari sahabat lainnya.

 Jadi permintaan Umar pada Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais. Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — telah memotivasi para sahabat, siapa saja yang bertemu Uwais, maka katakanlah padanya, “Wahai Uwais, berdoalah pada Allah untukku.” Kisah Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais saja, tidak boleh dipukul rata pada yang lainnya. Wallahu a’lam. (***)

 Penulis: Ust. Agus Abu Aufa, Lc
 Artikel Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Nikah Sakinah Vol. 9 N0. 11, Februari 2011 

Keutamaan Shalawat | 8 Lafazh Shalawat yang Shahih



 عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله : «مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ» رواه النسائي وأحمد وغيرهما وهو حديث صحيح.

 Dari Anas bin malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)”[SHAHIH. Hadits Riwayat An-Nasa’i (no. 1297), Ahmad (3/102 dan 261), Ibnu Hibban (no. 904) dan al-Hakim (no. 2018), dishahihkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah, al-Hakim rahimahullah dan disepakati oleh adz-Dzahabi, rahimahullah juga oleh Ibnu hajar rahimahullah dalam “Fathul Baari” (11/167) dan al-Albani rahimahullah dalam “Shahihul adabil mufrad” (no. 643). ].

 Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anjuran memperbanyak shalawat tersebut [Lihat “Sunan an-Nasa’i” (3/50) dan “Shahiihut targiib wat tarhiib” (2/134)], karena ini merupakan sebab turunnya rahmat, pengampunan dan pahala yang berlipatganda dari Allah Ta’ala [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (6/169)].

 Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini :

  Banyak bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merupakan tanda cinta seorang muslim kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam [Lihat kitab Mahabbatur Rasul Shallallahu alaihi wa sallam, bainal ittibaa walibtidaa’” (hal. 77).], karena para ulama mengatakan: “Barangsiapa yang mencintai sesuatu maka dia akan sering menyebutnya” [Lihat kitab “Minhaajus sunnatin nabawiyyah” (5/393) dan “Raudhatul muhibbiin” (hal. 264).].

  Yang dimaksud dengan shalawat di sini adalah shalawat yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih (yang biasa dibaca oleh kaum muslimin dalam shalat mereka ketika tasyahhud), bukan shalawat-shalawat bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang datang belakangan, seperti shalawat nariyah, badriyah, barzanji dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya. Karena shalawat adalah ibadah, maka syarat diterimanya harus ikhlas karena Allah Ta’ala semata dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [Lihat kitab “Fadha-ilush shalaati wassalaam” (hal. 3-4), tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.]. Juga karena ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Ya Rasulullah), sungguh kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, maka bagaimana cara kami mengucapkan shalawat kepadamu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah: Ya Allah, bershalawatlah kepada (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau…dst seperti shalawat dalam tasyahhud[SHAHIH. Riwayat Bukhari (no. 5996) dan Muslim (no. 406)].

  Makna shalawat kepada nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah meminta kepada Allah Taala agar Dia memuji dan mengagungkan beliau Shallallahu alaihi wa sallam di dunia dan akhirat, di dunia dengan memuliakan peneyebutan (nama) beliau Shallallahu alaihi wa sallam, memenangkan agama dan mengokohkan syariat Islam yang beliau bawa. Dan di akhirat dengan melipatgandakan pahala kebaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memudahkan syafa’at beliau kepada umatnya dan menampakkan keutamaan beliau pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk [Lihat kitab “Fathul Baari” (11/156)].

  Makna shalawat dari Allah Taala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemualian dan keberkahan dari-Nya [Lihat kitab Zaadul masiir (6/398).]. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Taala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:
 {هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}

 “Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (QS al-Ahzaab:43).

 Lafazh bacaan sholawat yang paling ringkas yang sesuai dalil2 yang shahih adalah :
 اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ

 Allahumma shollii wa sallim ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.

 “Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad) .

 [SHAHIH. HR. At-Thabrani melalui dua isnad, keduanya baik. Lihat Majma’ Az-Zawaid 10/120 dan Shahih At- Targhib wat Tarhib 1/273].

 Kemudian terdapat riwayat-riwayat yang Shahih dalam delapan riwayat, yaitu :

 1. Dari jalan Ka’ab bin ‘Ujrah
 اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

 “Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid, Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid”.

 “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”

 [SHAHIH, HR. Bukhari 4/118, 6/27, dan 7/156, Muslim 2/16, Abu Dawud no. 976, 977, 978, At Tirmidzi 1/301-302, An Nasa-i dalam "Sunan" 3/47-58 dan "Amalul Yaum wal Lailah" no 54, Ibnu Majah no. 904, Ahmad 4/243-244, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 900, 1948, 1955, Al Baihaqi dalam "Sunanul Kubra" 2/148 dan yang lainnya]

 2. Dari jalan Abu Humaid As Saa’diy
 اللهم صل على محمد وعلى أزواجه وذريته كما صليت على إبراهيم ، وبارك على محمد وعلى أزواجه وذريته كما باركت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد

 Allaahumma sholli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shol laita ‘alaa ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim innaka hamiidum majiid.

 “Ya Allah,berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada isteri-isteri beliau dan keturunannya,sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Ya Allah, Berkahilah Muhammad dan isteri-isteri beliau dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim,Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”

 [SHAHIH, HR. Bukhari 4/118, 7/157, Muslim 2/17, Abu Dawud no. 979, An Nasa-i dalam "Sunan" nya 3/49, Ibnu Majah no. 905, Ahmad dalam "Musnad" nya 5/424, Baihaqi dalam "Sunanul Kubra" 2/150-151, Imam Malik dalam "Al Muwaththo' 1/179 dan yang lainnya].

 3. Dari jalan Abi Mas’ud Al Anshariy
 اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد

 Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shol laita ‘alaa aali ibroohiim ,wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohiim fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid.

 “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim atas sekalian alam, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”

 [SHAHIH, HR Muslim 2/16, Abu Dawud no. 980, At Tirmidzi 5/37-38, An Nasa-i dalam "Sunan" nya 3/45, Ahmad 4/118, 5/273-274, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 1949, 1956, Baihaqi dalam "SUnanul Kubra" 2/146,dan Imam Malik dalam "AL Muwaththo' (1/179-180 Tanwirul Hawalik Syarah Muwaththo'"]

 4.Dari jalan Abi Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshariy (jalan kedua)
 للهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم وبارك على محمد النبي الأمي وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
 Allaahumma sholli ‘alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shol laita ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

 “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad yang ummi dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Dan berkahilah Muhammad Nabi yang ummi dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”

 [SHAHIH, HR. Abu Dawud no. 981, An Nasa-i dalam "Amalul Yaum wal Lailah" no. 94, Ahmad dalam "Musnad" nya 4/119, Ibnu Hibban dalam "Shahih" nya no. 1950, Baihaqi dalam "Sunan" nya no 2/146-147, Ibnu Khuzaimah dalam "Shahih" nya no711, Daruquthni dalam "Sunan" nya no 1/354-355, Al Hakim dalam "Al Mustadrak" 1/268, dan Ath Thabrany dalam "Mu'jam Al Kabir" 17/251-252]

 5. Dari jalan Abi Sa’id Al Khudriy
 اللهم صل على محمد عبدك ورسولك كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم
 Allaahumma sholli ‘alaa Muhammadin ‘abdika wa rosuulika kamaa shol laita ‘alaa aali ibroohiim, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim.

 “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad hambaMu dan RasulMu, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim”

 [SHAHIH, HR Bukhari 6/27, 7/157, An Nasa-i 3/49, Ibnu Majah no. 903, Baihaqi 2/147, dan Ath Thahawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/73]

 6. Dari jalan seorang laki2 shabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 اللهم صل على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد وعلى أهل بيته وعلى أزواجه وذريته كما باركت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد

 Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa shollaita ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid , wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatihi kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

 “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan kepada ahli baitnya dan istri-istrinya dan keturunannya, sebagimana Engkau telah memberkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”

 [SHAHIH, HR. Ahmad 5/347, Ini adalah lafazhnya, Ath Thowawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/74], dishahihkan oleh Al Albani dalam “Sifaat sahalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”, hal 178-179].

 7. Dari jalan Abu Hurairah
 اللهم صل على محمد و على آل محمد وبارك على محمد و على آل محمد كما صليت وباركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
 Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shollaita wa baarokta ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

 “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad,sebagaimana Engkau telah bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”

 [SHAHIH, HR Ath Thowawiy dalam "Musykilul Atsaar" 3/75, An Nasa-i dalam "Amalul Yaum wal Lailah" no 47 dari jalan Dawud bin Qais dari Nu'aim bin Abdullah al Mujmir dari Abu Hurairah , Ibnul Qayyim dalam "Jalaa'ul Afhaam Fish Shalati Was Salaami 'alaa Khairil Anaam (hal 13) berkata, "Isnad Hadist ini shahih atas syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim), dan dishahihkan oleh Al Albani dalam "Sifaat sahalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam", hal 181 ]

 8. Dari jalan Thalhah bin ‘Ubaidullah
 اللهم صل على محمد و على آل محمد كما صليت على إبراهيم و على آل إبراهيم إنك حميد مجيد وبارك على محمد و على آل محمد كما باركت على إبراهيم و آل إبراهيم إنك حميد مجيد
 Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shol laita ‘alaa ibroohiim wa ‘alaa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarokta ‘alaa ibroohiim wa aali ibroohiim innaka hamiidum majiid.

 “Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim,sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia”.

 [SHAHIH, HR. Ahmad 1/162, An Nasa-i dalam "Sunan: nya 3/48 dan "Amalul Yaum wal Lailah" no 48, Abu Nu’aim dalam "Al Hilyah" 4/373,semuanya dari jalan 'Utsman bin Mauhab dari Musa bin Thalhah, dari bapaknya (Thalhah bin 'Ubaidullah), dishahihkan oleh Al Albani].

 ► Tentang Ucapan صلى ا لله عليه وسلم

 Di sunnahkan (sebagian ulama mewajibkannya) mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan :
 صلى ا لله عليه وسلم

 “Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

 Riwayat2 yang datang tentang ini banyak sekali, diantaranya dari dua hadits shahih di bawah ini :

 1. Dari jalan Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata,

 “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang apabila namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku (dengan ucapan-red)
 صلى ا لله عليه وسلم (“shallallahu ‘alaihi wa sallam”").

 [SHAHIH. Dikeluarkan oleh AT Tirmidzi 5/211, Ahmad 1/201 no 1736, An Nasa-i no 55,56 dan 57, Ibnu Hibban 2388, Al Hakim 1/549, dan Ath Thabraniy 3/137 no 2885.

 2. Dari Abu Hurairah, ia berkata, "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :" Hina dan rugi serta kecewalah seorang yang disebut namaku disisinya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku"".
 [SHAHIH. Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi 5/210, dan Al Hakim 1/549. Dan At Tirmidzi telah menyatakan bahwa hadits ini Hasan].

 Hadits ke dua ini, banyak syawaahidnya dari jama’ah para shahabat, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kiatb : At Targhib wat Tarhib” (2/506-510) Imam Al Mundzir, “Jalaa-ul Afhaam (hal 229-240) Ibnu Qayyim, Al Bukhari dalam “Adabul Mufrad” (no 644, 645), Ibnu Khuzaimah (no 1888), Ibnu Hibban (no 2386 dan 2387 – Mawaarid).

Ilmu, Perhiasan Tak Ternilai Seorang Wanita


Seorang yang mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat harus memiliki pedoman dalam menapaki kehidupannya di dunia. Dan pedoman hidup seorang hamba semua telah diatur dalam syariat Islam. Seorang yang sukses bukanlah orang yang hidup dengan bersemboyan ‘semau gue’ dengan mengikuti hawa nafsunya, tapi orang yang sukses adalah orang yang mengambil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan pemahaman As Salafus Shalih sebagai pengikat aturan hidupnya. Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini tidak mungkin dapat diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i. Karena itulah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah yang baligh dan berakal (mukallaf) untuk menuntut ilmu.

 Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

 “Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

 Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan, syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi, perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan kewajibannya.

 Sebagai hamba Allah, seorang Muslimah wajib mengenal Rabbnya yang meliputi pengetahuan terhadap nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Selain itu, ia harus mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersendiri dalam Mencipta, Mengatur, Memiliki, dan Memberi Rezeki. Ia pun wajib menunaikan hak-hak Allah, yaitu beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sebagaimana tujuan penciptaannya. Allah berfirman :

 “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56)

 Seseorang tidak akan berada di atas hakikat agamanya sebelum ia berilmu atau mengenal Allah Ta’ala. Pengenalan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menuntut ilmu Dien (Agama Islam).

 Di samping mengenal Allah, seorang Muslimah juga wajib mengenal Nabi-nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, karena beliau merupakan perantara antara Allah dengan manusia dalam penyampaian risalah-Nya. Sesuai dengan makna persaksiannya bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib mentaati segala yang beliau perintahkan, membenarkan segala yang beliau khabarkan, menjauhi apa yang beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Al Hasyr : 7)

 Ayat ini merupakan kaidah umum yang agung dan jelas tentang wajibnya seluruh kaum Muslimin mengambil sunnah yang telah tetap dan hadits-hadits shahih dalam aqidah, ibadah, muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini tidak akan diketahui kecuali dengan menuntut ilmu terlebih dahulu.

 Selain mengenal Allah dan Rasul-Nya, seorang Muslimah juga wajib mengenal agama Islam sebagai agama yang dianutnya, dengan memperhatikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahihah, sehingga ia memiliki pendirian kokoh, tidak mudah terombang-ambing. Dan agar ia berada di atas cahaya, bukti, dan kejelasan dari agamanya.
 Inilah masalah pertama yang disebutkan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bukunya Al Ushuluts Tsalatsah, yaitu berilmu sebelum beramal dan berdakwah.

 Seorang Muslimah juga wajib membekali dirinya dengan ilmu sebelum memasuki jenjang pernikahan, sehingga ia dapat menunaikan kewajibannya sesuai dengan tuntunan syariat.

 Sebagai isteri, seorang Muslimah dituntut agar menjadi isteri yang shalihah, sehingga ia dapat menjadi perhiasan dunia yang paling baik, bukan justru menjadi fitnah atau musuh bagi suaminya. Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

 “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)

 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang sifat-sifat wanita shalihah :

 “… maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara mereka.” (An Nisa’ : 34)

 Maksud ayat ini diterangkan oleh Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan Asy Syaikh Salim Al Hilali rahimahumullah bahwa wanita yang shalihah adalah yang menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentaati-Nya, mentaati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan menunaikan hak-hak suaminya dengan mentaatinya dan menghormatinya, serta menjaga harta suami, anak-anak mereka, dan kehormatannya tatkala suaminya tidak ada.

 Untuk menjadi wanita shalihah yang seperti ini, seorang Muslimah membutuhkan ilmu.

 Sebagai seorang ibu, ia mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Di bawah kepemimpinan suami, isteri adalah penjaga rumah tangga suami dan anak-anaknya, sebagaimana dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda :

 “Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, maka setiap kalian adalah pemimpin, akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

 Hasil didikan seorang ibu terhadap anak-anaknya inilah yang termasuk perkara yang akan ditanyakan oleh Allah kelak di hari kiamat. Karena itulah Muslimah harus menuntut ilmu syar’i sebagai bekal mendidik anak-anak sehingga fitrah mereka tetap terjaga dan menjadi penyejuk hati karena keshalihan mereka.

 Di tempat lain, bila seorang Muslimah belum menikah, maka sebagai anak ia wajib taat pada orang tuanya selama tidak memerintahkan kepada maksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

 “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya… .” (Al Ankabut : 8)

 Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

 “Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka pada orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

 Untuk dapat berbuat baik dan menunaikan hak-hak orang tua dengan benar, seorang Muslimah tidak bisa lepas dari ilmu.

 Seluruh kewajiban ini harus dapat ditunaikan dengan dasar ilmu. Karena jika tidak, akan terjadi berbagai kesalahan dan kerusakan. Maka tidak heran, bila para Muslimah yang bodoh terhadap agamanya melakukan berbagai praktek kesyirikan dan kebid’ahan.

 Akibat kebodohannya pula, banyak Muslimah yang durhaka pada suami atau orang tuanya. Atau terjadi berbagai kesalahan dalam mendidik anak sehingga muncullah generasi yang berakhlak buruk, bahkan bisa jadi durhaka pada orang tua yang telah merawat dan membesarkannya. Karena kebodohannya pula, banyak Muslimah yang tidak mengetahui bagaimana ia harus menjaga kehormatannya, sehingga ia menjadi fitnah dan terjerumus dalam perzinahan dan berbagai kemaksiatan. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu.
 Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
 “Aku berdiri di muka pintu Syurga, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah orang-orang miskin, sedang orang-orang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya. Dan ahli neraka telah diperintahkan masuk neraka. Dan ketika aku berdiri di dekat pintu neraka, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 Hanya dengan menuntut ilmu, seorang Muslimah akan mengetahui jalan yang selamat. Kaum Muslimah masa kini akan menjadi baik bila mereka mau mencontoh para Muslimah generasi terdahulu (generasi salafuna shalih), mereka sangat memperhatikan dan bersemangat dalam menuntut ilmu.

 Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan berkata :

 ‘Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah membawa haditsmu, maka jadikanlah bagi kami satu harimu yang kami datang pada hari tersebut agar engkau mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Maka beliau bersabda : ‘Berkumpullah pada hari ini dan ini di tempat ini.’ Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendatangi mereka dan mengajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun sangat bersemangat mengajar para shahabiyah, sampai-sampai beliau menyuruh wanita yang haid, baligh, dan merdeka untuk menyaksikan kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan udzur wanita yang tidak memiliki hijab, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain dari Ummu ‘Athiyah Al Anshariyah radhiallahu ‘anha, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyuruh kami mengeluarkan wanita yang merdeka, yang haid, dan yang dipingit untuk keluar pada hari Iedul Fithri dan Adha. Adapun yang haid memisahkan diri dari tempat shalat, dan mereka pun menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslimin. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau bersabda : ’Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.’ “

 Oleh karena itulah, kita dapatkan dalam sejarah Islam, di antara mereka ada yang menjadi ahli fiqih, ahli tafsir, sastrawati, dan ahli dalam seluruh bidang ilmu dan bahasa. Sebagai contoh, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang dididik dalam madrasah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang berilmu dan shalihah.

 Imam Az Zuhri rahimahullah berkata : ”Seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan dan dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih afdhal.”

 Bahkan ‘Aisyah merupakan guru dari beberapa shahabat, ia menjadi bahan rujukan mereka dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Urwah bin Az Zubair berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih mengetahui ilmu fiqih, pengobatan, dan syi’ir ketimbang ‘Aisyah.”

 Para wanita dari kalangan tabi’in juga berdatangan ke rumah ‘Aisyah untuk belajar, di antara muridnya adalah Amrah bintu ‘Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata : “Dia adalah orang yang paling mengetahui hadits-haditsnya ‘Aisyah.”

 Di antara deretan nama wanita generasi terdahulu yang cemerlang dalam ilmu adalah Hafshah bintu Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya, bacaan Al Qur’annya, dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.

 Demikianlah –wahai saudariku Muslimah– mereka adalah contoh terbaik bagi kita dan telah terbukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu sebagaimana firman-Nya :

 “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadilah : 11)

 Semoga Allah memudahkan jalan bagi kita untuk menuntut ilmu dan memberikan ilmu yang bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.

 Maraji’ :

 1. Al Qur’anul Karim
 2. Inayatun Nisa’ bil Hadits An Nabawi. Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.
 3. Nisa’ Haula Ar Rasul. Mahmud Mahdi Al Istambuli dan Musthafa Abu Nashr Asy Syalbi.
 4. Riyadlus Shalihin. Imam Nawawi.
 5. Bahjatun Nadhirin. Salim bin ‘Ied Al Hilali.
 6. Aisarut Tafasir. Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
 7. Hasyiyah Ats Tsalatsah Al Ushul. Muhammad bin Abdul Wahhab.